Kafirkah Kaum Mukminin Yang Saling Berperang?
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya! Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah. Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Hujurat: 9)
Ringkasan Tafsir
“Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman” baik jumlahnya sedikit ataupun banyak, “berperang”, baik yang sedang berperang atau akan berperang, “maka damaikan oleh kalian antara keduanya!” dengan membuat perjanjian kesepakatan. “Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain”, dengan menolak perjanjian tersebut atau tidak ridha dengan hukum Allah, “maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah,” yaitu sampai mereka kembali kepada kebenaran.
“Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”[1]
Syaikh As-Sa’di berkata, “Bahwasanya peperangan merusak hubungan persaudaraan seiman. Oleh karena itu, dia termasuk dosa besar yang paling besar. Sesungguhnya iman dan persaudaraan seiman tidak lenyap dengan adanya peperangan (antara sesama orang yang beriman), sebagaimana dosa-dosa besar lain yang di bawah syirik (tidak melenyapkan iman). Dan inilah madzhab Ahlis-sunnah wal-jamaa’ah, begitu pula dalam permasalahan: wajibnya mengadakan perdamaian di antara orang-orang yang beriman dengan adil, wajibnya memerangi orang-orang melanggar perjanjian atau pemberontak sampai mereka kembali kepada perintah Allah… Dan (setelah memerangi mereka), harta mereka dilindungi (atau tidak menjadi ghaniimah), yang dibolehkan hanyalah membunuh mereka ketika mereka terus melakukannya, tetapi tidak dibolehkan mengambil harta-harta mereka.”[2]
Sebab Turunnya Ayat
Para ulama berbeda pendapat tentang sebab turunnya ayat ini. Sebab turun yang shahiih tercantum pada hadiits berikut:
عن أَنَس -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- قَالَ: قِيلَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: لَوْ أَتَيْتَ عَبْدَ اللهِ بْنَ أُبَيٍّ. فَانْطَلَقَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- وَرَكِبَ حِمَارًا فَانْطَلَقَ الْمُسْلِمُونَ يَمْشُونَ مَعَهُ وَهْيَ أَرْضٌ سَبِخَةٌ فَلَمَّا أَتَاهُ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ: إِلَيْكَ عَنِّي! وَاللَّهِ لَقَدْ آذَانِي نَتْنُ حِمَارِكَ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ مِنْهُمْ: وَاللَّهِ لَحِمَارُ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- أَطْيَبُ رِيحًا مِنْكَ. فَغَضِبَ لِعَبْدِ اللهِ رَجُلٌ مِنْ قَوْمِهِ فَشَتَمَا فَغَضِبَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَصْحَابُهُ فَكَانَ بَيْنَهُمَا ضَرْبٌ بِالْجَرِيدِ وَالأَيْدِي وَالنِّعَالِ فَبَلَغَنَا أَنَّهَا أُنْزِلَتْ: {وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا}.
Diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disarankan, ‘Sebaiknya engkau menemui ‘Abdullah bin Ubay.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pergi bersama kaum muslimin menuju tanah yang tandus. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya, berkatalah ‘Abdullah bin Ubay, ‘Menjauhlah dariku! Demi Allah, Bau keledaimu telah menggangguku.’ Maka berkatalah seorang laki-laki dari Anshaar, ‘Demi Allah! Keledai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih harum daripada dirimu.’ Kemudian marahlah seorang laki-laki dari kaumnya karena ‘Abdullah diejek. Mereka berdua pun saling mengejek, kemudian teman-teman kedua laki-laki tersebut saling marah dengan yang lain. Dan terjadilah pemukulan dengan pelepah kurma, tangan dan sandal-sandal. Dan kami dikabarkan bahwasanya karena hal tersebutlah diturunkan ayat: (Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya!).”[3]
Firman Allah ta’ala:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian antara keduanya!”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala masih menamai kedua kelompok tersebut sebagai orang yang beriman, meskipun sekelompok orang mukmin yang satu memerangi dan membunuh sekelompok orang mukmin yang lain. Allah juga tidak mengatakan bahwa orang atau kelompok yang membunuh sebagai orang kafir.
Imam Al-Bukhari mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala menamai mereka sebagai orang-orang yang beriman.”[4] Ini menunjukkan bahwa Imam Al-Bukhari memahami bahwa hal tersebut tidak menyebabkan salah satu dari dua kelompok tersebut keluar dari agama Islam.
Begitu pula jika kita perhatikan ayat yang berbicara tentang qishaash. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, maka hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik.” (QS Al-Baqarah: 178)
Pada ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebut orang yang membunuh sebagai seorang yang beriman dan tidak menghilangkan keimanan dan persaudaraan seiman pada dirinya dengan firman-Nya “maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,” Allah masih menyebut orang yang membunuh sebagai saudara yang lain.
Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
“Janganlah kalian setelahku menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain.”[5]
Pada hadits ini, meskipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut mereka sebagai orang yang kafir, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap sebagian mereka adalah sebagian yang lain. Ini menunjukkan bahwa kekafiran yang dimaksud bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari agama Islam.
Begitu pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menyebutkan tentang pemberontakan yang akan terjadi di antara para sahabat:
وَتَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فِرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ
“Dan akan ada kelompok yang keluar ketika terjadi perpecahan di antara kaum muslimin. Kemudian kelompok yang lebih utama memerangi mereka dengan haq (kebenaran).”[6]
Dan kita ketahui dalam sejarah Islam, bahwasanya setelah ‘Utsmaan bin ‘Affaan radhiallahu ‘anhu wafat, maka terjadilah perselisihan antara pendukung pemerintahan ‘Ali bin Abi Thaalib dengan pendukung Mu’aawiyah bin Abi Sufyaan radhiallahu ‘anhuma, sehingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar kaum muslimin.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan hal ini sebelumnya, yaitu tentang cucu beliau yang bernama Al-Hasan bin Abi Thaalib radhiallahu ‘anhuma:
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ.
“Sesungguhnya anakku ini (yaitu cucu beliau) adalah sayyid (pemimpin). Mudah-mudahan Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum muslimin dengan sebabnya.”[7]
Dengan demikian, kita mengetahui bahwasanya peperangan dan bunuh-bunuhan yang terjadi antara kedua kelompok besar tersebut tidak menyebabkan salah satu kelompok menjadi orang kafir yang keluar dari agama Islam.
Kekafiran ada dua jenis
Sangat perlu ditekankan pada tulisan ini, bahwasanya tidak semua lafaz: kefasikan, kekafiran, kemunafikan dan kezaliman, di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan juga hadiits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti hal tersebut mengeluarkan seseorang dari agama Islam.
Kefasikan (al–fisq), kekafiran (al-kufr), kemunafikan (an–nifaq) dan kezaliman (adzh-dzhulm) terbagi menjadi dua, yaitu: yang akbar dan yang ashghar. Al-Kufr Al-Akbar mengeluarkan seseorang dari Islam, sedangkan Al-Kufr Al-Ashghar tidak mengeluarkan seseorang dari Islam.
Contoh Al-Kufr Al-Akbar (kekafiran yang besar) tercantum pada ayat berikut:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kalian kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS Al-Baqarah: 34)
… إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَظَلَمُوا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيقًا …
“…Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka…” (QS An-Nisaa’: 167)
Kekafiran yang dimaksudkan pada kedua ayat tersebut adalah kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam.
Contoh Al-Kufr Al-Ashghar tercantum pada hadiits berikut:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah perbuatan faasiq (dosa) dan membunuhnya adalah perbuatan kafir.”
Kekafiran pada hadiits ini tidak menunjukkan bahwa membunuh adalah perbuatan yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam.
Inilah aqidah Ahlis-sunnah wal-Jama’ah. Mereka tidak mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar, seperti: membunuh, berzina, minum-minuman keras dll. Ini sangat berbeda dengan apa yang dipahami oleh orang-orang sesat dari kaum khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar tersebut.[8]
Firman Allah ta’aalaa:
فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ
“Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah.”
Diriwayatkan dari Al-Haarits Al-‘A’war bahwasanya ‘Ali bin Abi Thaalib radhiallahu ‘anhu pernah ditanya ketika beliau memerangi para pemberontak di perang Al-Jamal dan Shiffiin, “Apakah mereka adalah orang-orang musyrik?” Beliau menjawab, “Tidak, mereka jauh dari kesyirikan.” Beliau ditanya lagi, “Apakah mereka adalah orang-orang munafik?” Beliau menjawab, “Tidak, orang-orang munafik tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja.” Beliau ditanya lagi, “Kalau begitu, siapakah mereka?” Beliau menjawab, “Mereka adalah saudara-saudara kita yang telah memberontak terhadap kita.”[9]
Para pemberontak yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang adil boleh diperangi dan dibunuh. Dalilnya adalah ayat yang sedang kita bahas ini. Apabila ada suatu kelompok yang memiliki: (1) kekuatan untuk memberontak, tidak mau menaati imam yang adil, (2) memiliki syubhat/kesalahan dalam memahami dalil dan (3) mereka mengangkat seorang imam, maka imam tersebut wajib mengutus perwakilan kepada mereka dan mengajak mereka untuk taat kepadanya.
Apabila mereka menyatakan bahwa telah terjadi kezaliman kepada mereka, maka sang Imam harus menyelesaikannya. Apabila ternyata tidak ada kezaliman yang dilakukan imam kepada mereka, tetapi mereka tetap memberontak, maka sang Imam berhak memerangi mereka sampai mereka kembali menaati sang Imam.
Tetapi perlu diingatkan pada tulisan ini, memerangi mereka bukan berarti dihalalkan mengambil harta mereka, memperbudak mereka dan juga memperbudak anak-istri mereka setelah terjadi peperangan, sebagaimana dihalalkan mengambilnya dari orang-orang kafir. Mereka adalah orang-orang Islam, apabila ketika mereka diperangi dan melarikan diri, maka mereka tidak boleh dikejar, apabila mereka ditawan, maka mereka tidak boleh dibunuh, apabila mereka terluka, maka harus diberikan pengobatan.
Jika terpenuhi ketiga syarat tersebut, barulah sang Imam boleh memerangi mereka.
Akan tetapi, jika belum terpenuhi syarat-syarat tersebut, misalkan kelompok pemberontak tersebut: (1) jumlahnya sedikit dan tidak memiliki kekuatan, (2) mereka tidak memiliki syubhat/salah dalam memahami dalil atau (3) mereka tidak mengangkat seorang imam dan tidak mengumumkan peperangan kepada kaum muslimin, maka tidak boleh memerangi mereka. Kecuali mereka sangat mengancam bagi kaum muslimin, maka diperbolehkan untuk memerangi mereka.[10]
Ayat ini menunjukkan wajibnya memerangi kelompok pemberontak yang benar-benar memberontak kepada Imam, pemerintah atau membunuh orang-orang Islam. Ini tidak bertentangan dengan hadiits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Membunuhnya adalah perbuatan kafir.”
Kita ketahui bahwa Allah tidak mungkin memerintahkan untuk melakukan perbuatan kafir. Oleh karena itu, perintah di dalam ayat tersebut adalah salah satu bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Kita juga mengetahui bahwa Abu Bakr Ash-Shiddiiq radhiallahu ‘anhu memerangi orang Islam yang tidak mau bayar zakat.[11]
Tidak bermudah-mudah dalam masalah membunuh para pemberontak
Meskipun Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkan untuk memerangi para pemberontak dan orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi, sudah sepantasnya para pemegang kekuasaan tidak bermudah-mudah untuk membunuh mereka. Pertimbangan untuk membunuh mereka haruslah benar-benar dipertimbangkan dengan matang. Pemegang kekuasaan harus menimbang kemaslahatan (kabaikan) dan kemudaratan (keburukan) yang akan terjadi jika para pemberontak tersebut diperangi.
Diriwayatkan dari Naafi’ rahimahullah, bahwasanya ada seseorang mendatangi Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dan berkata, “Ya Abu ‘Abdirrahman[12]! Apakah engkau tidak mendengar ayat yang Allah sebutkan di dalam kitab-Nya:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا
“Dan kalau ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang”
Apa yang menghalangimu untuk tidak memerangi (orang-orang) sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam kitab-Nya.
Beliau pun berkata, “Wahai anak saudaraku! Saya tidak ingin salah dalam memahami ayat ini. Tidak memerangi (mereka) lebih saya cintai daripada salah dalam memahami ayat yang Allah ta’aalaa katakan:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا …
“Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja …”
Beliau berkata, sesungguhnya Allah berkata:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ …
“Dan perangilah mereka sampai tidak terjadi fitnah ...”[13]
Dari atsar di atas kita dapat memahami bahwa Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu sangat berhati-hati dalam menghukumi suatu permasalahan, karena permasalahan tersebut sangat besar dan beliau takut terjatuh pada kesalahan sehingga seorang mukmin membunuh saudaranya bukan dengan cara yang benar, sehingga dia terjatuh pada ayat:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, dia kekal di dalamnya. Dan Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan untuknya azab yang besar.” (QS An-Nisaa’: 93)
Begitu pula, beliau memahami bahwa halalnya memerangi orang yang memberontak adalah karena pertimbangan maslahat yang besar atau menghindarkan mudarat (bahaya). Akan tetapi, jika dengan memerangi mereka bukan karena Allah dan akan terjadi fitnah yang sangat besar di antara kaum muslimin, maka hal tersebut tidak disyariatkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah: 193)
Firman Allah ta’ala:
فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan orang yang berbuat adil, beliau berkata:
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِى حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang muqsith (adil) nanti akan berada di sisi Allah di atas mimbar-mimbar dari cahaya di sebelah tangan kanan Ar-Rahmaan, dan kedua tangan Allah adalah kanan. Mereka adalah orang-orang yang berbuat adil ketika berhukum, berbuat adil terhadap keluarganya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.”[14]
Kesimpulan
Dengan membaca paparan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa:
- membunuh seorang muslim tidak mengeluarkan seseorang dari agama Islam, tetapi orang yang melakukannya telah melakukan dosa yang sangat besar dan diancam untuk masuk ke dalam neraka.
- pemegang kekuasaan berhak untuk memerangi para pemberontak yang sangat mengancam negeri kekuasaannya dan dihalalkan untuk membunuh mereka jika tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat.
Daftar Pustaka
- Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
- Al-Jaami’ Li Ahkaamil-Qur’aan. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
- Ma’aarijul-Qabuul Bisyarhi Sullamil-Wushuul ilaa ‘Ilmil-Ushuul. Hafidzh bin Ahmad bin Al-Hakami. Dammaam: Daar Ibnil-Qayyim.
- Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
- Syarh I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah minal-Kitab was-Sunnah wa Ijmaa’ish-shah Ar-Riyadh: Dar Ath-Thaibah.
- Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
- Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
- Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar sudah tercantum di footnotes.
Catatan kaki
[1] Lihat Aisarut-Tafaasiir IV/122 dan Tafsiir As-Sa’di hal. 800.
[2] Tafsiir As-Sa’di hal. 800.
[3] HR Al-Bukhaari no. 2691.
[4] Catatan beliau di Bab 23 dalam Shahiih Al-Bukhaari, sebelum hadits ke-31.
[5] HR Al-Bukhaari no. 121 dan Muslim no. 65/223.
[6] HR Muslim no. 1065/2458.
[7] HR Al-Bukhaari no. 2704
[8] Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal-Jama’ah I/163-164 dan Ma’aarijul-Qabuul III/1018-1019.
[9] Ma’aalimuttanziil VII/341.
[10] Lihat Ma’aalimuttanziil VII/341-342.
[11] Lihat Al-Jaami’ Li Ahkaamil-Qur’aan XVI/316-317.
[12] Kunyah atau panggilan untuk ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu.
[13] HR Al-Bukhaari no. 4650.
[14] HR Muslim no. 1827/4721
Penulis: Ust. Sa’id Yai, Lc., MA.
Artikel Muslim.Or.Id
🔍 Perbedaan Alquran Dan Hadis Qudsi, Bacaan Istighfar Setelah Shalat, Penyebab Murtad, Curahan Hati Kepada Allah
Artikel asli: https://muslim.or.id/23461-kafirkah-kaum-mukminin-yang-saling-berperang.html